Episode Kehilangan

Sebuah simulasi atas kehilangan yang berskala besar....



Tiga hari lalu aku kehilangan ponsel. Ponsel yang kumiliki berkat usahaku menabung honor hasil kerja beberapa bulan. Ponsel yang menyimpan banyak lagu kenangan, foto kenangan, SMS-SMS penting, dan tentu saja nomor-nomor teman, keluarga, dan rekan kerja.


Sesaat setelah kehilangan tangisku tak dapat terbendung.


Lalu, seorang lelaki baik hati yang menjadi saksi kehilangan itu berkata, “Apa dengan menangis ponselmu akan kembali? Sudahlah, masih mending kau tidak kehilangan hal yang lebih berharga.” Seketika tangisku terhenti. Kemudian, aku menyadari bahwa dibandingkan tas seisinya, dompet, motor, dan tentu saja diriku, hari itu dan pada kesempatan itu memang ponsel itulah yang “paling tidak berharga”.


Aku pun mulai bisa tersenyum.


Malam hari, beberapa jam setelah tragedi hilangnya ponsel itu, aku merenung. Hasil perenunganku adalah rasa syukur yang luar biasa karena aku merasa mengalami simulasi atas kehilangan yang lebih besar, kehilangan sesungguhnya, dan terutama kehilangan karena kematian.


Suatu ketika pada masa yang akan datang tentu akan datang kehilangan-kehilangan yang skalanya lebih besar. Bisa jadi kehilangan keluarga, teman, kekasih, suami/istri, rumah, mobil, pekerjaan, dan/atau hal-hal berharga lainnya. Sebagai bahan renungan, ponsel itu kuibaratkan sebagai orang terdekat. Dan, kehilangan itu kuibaratkan sebagai kematian.


Kumulai dengan merunut hal-hal yang membuatku menangis saat kehilangan ponsel.

1. Ponsel itu kumiliki berkat usahaku menabung honor hasil aku bekerja selama beberapa waktu. Rasanya menyesakkan sekali saat ponsel yang belum setengah tahun kumiliki itu harus hilang dariku.


Suatu ketika aku pasti akan merasa jauh lebih sedih, bahkan mungkin menangis sejadi-jadinya, saat orang yang penting untukku meninggalkanku untuk selama-lamanya. Hal itu karena aku merasa sudah berjuang beberapa waktu untuk dapat tetap bersamanya dan mempertahankan hubungan yang terjalin.


2. Ponsel itu merupakan penunjuk waktuku (karena aku tak memakai jam tangan), penyedia beberapa layanan yang kubutuhkan (kalkulator, alarm, memo, dan sebagainya) untuk memudahkan hidup, dan tentu saja penyimpan nomor-nomor kontak begitu banyak orang penting dalam hidupku. Saat ponsel itu hilang, nomor-nomor kontak itu pun hilang, harus kukumpulkan satu demi satu lagi dan itu tidak mudah. Beberapa saat setelah kehilangan, sering kali refleks aku mencari ponsel itu saat ingin mengetahui waktu. Menyadari ponsel itu tak ada, aku pun merasa "tak biasa".


Mungkin ... seperti itulah yang akan kurasakan saat kehilangan keluarga, pasangan hidup, atau siapa pun yang penting dalam hidupku. Tentu untuk sesaat aku akan semacam kehilangan pegangan karena kehilangan sesuatu yang biasanya sangat terkait dengan keseharianku. Berbagai macam orang yang biasanya terhubung denganku karena terkait dia pun tentu harus berusaha kuhubungi lagi tanpa adanya dia.


3. Memory card dalam ponsel itu ikut raib. Padahal, di dalamnya terdapat banyak data, lagu, foto, video, dan sebagainya sejak empat tahunan lalu. Begitu pula dengan SMS-SMS yang ikut hilang, padahal di dalamnya terdapat data-data penting.


Seperti itulah kelak saat aku ditinggalkan oleh seseorang terdekatku. Seketika segala kenangan yang kami miliki akan ikut menghilang bersama kepergiannya. Tak akan ada lagi pengingat suatu kejadian yang pernah dilakukan bersama. Tak ada yang akan merevisi saat ingatanku atas suatu peristiwa salah. Tak ada lagi dia dan segala hal yang seumur hidup menjadi bagian dunia kami.



Selama 23 tahun kesempatan hidup di dunia yang Allah Swt. berikan, jarang sekali aku merusakkan apalagi menghilangkan barang. Namun, hari itu akhirnya aku harus merasakan rasa itu. Kehilangan. Hampir tak pernah merasa kehilangan, itulah mungkin salah satu penyebab tangis yang begitu tak terbendung itu. Padahal, tak ada yang abadi di dunia ini. Sebaik apa pun kita menjaga dan merawatnya, saat Allah Swt. berkehendak memisahkan kita dari benda atau orang itu, kehilangan tak akan dapat kita cegah.



Mungkin analogi di atas kurang tepat atau malah berlebihan. Namun, itulah hikmah kehilangan ponsel yang kurasakan. Aku bersyukur karena sempat mencecap sebuah kehilangan. Meskipun skalanya terhitung kecil, setidak-tidaknya aku jadi menyadari bahwa kehilangan memang suatu hal yang akan terjadi dalam hidupku dan suatu ketika sangat mungkin dan pasti akan ada kehilangan yang skalanya lebih besar. Kehilangan ponsel ini seperti simulasi kehilangan "yang sesungguhnya".



Sejak tiga hari lalu, aku belajar menghadapi dan menyikapi kehilangan.

0 komentar: